Pages

Sabtu, 28 Maret 2009

GURU , PROFESI YANG PENUH KONTROVERSI....

Kakak saya yang seorang professor Geologi pernah berkata kepada saya,
“Guru sekarang enak ya . Lagi dimanja oleh Pemerintah. Anggaran Pendidkan 20 % dari APBD dan guru mendapat tunjangan profesi sebesar satu bulan gaji”

Saya berkata dalam hati kok kakak saya berkata begitu. Dari apa yang saya tangkap dari ucapan kakak saya itu berarti benar dan dia mengakui bahwa guru selama ini g memang kurang mendapat perhatian dari pemerintah.

Setelah berfikir beberapa detik saya menanggapi ucapan kakak saya itu.
“Alhamdulillah saya mendengar dari media massa memang begitu bahwa Anggaran Pendidikan 20 % dari APBD . Tapi sebagai seorang guru saya tidak tahu dan tidak perlu tahu peruntukan anggaran tersebut, itu bukanlah kapasitas saya untuk membahasnya. Tugas saya adalah mendidik peserta didik saya menjadi manusia yang cerdas, beriman dan bertaqwa kepada Alloh SWT.
Mengenai tunjangan profesi sebesar satu bulan gaji itu juga benar. Tapi belum semua guru menikmatinya. Baru sebagian kecil saja.”
Saya katakan pula bahwa untuk lulus sertifikasi tidaklah mudah. Harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang dibuktikan dengan fortofolio yang dimiliki oleh Guru tersebut. Ijazah S1 dan akta 4 yang dikeluarkan oleh UPI (dulu IKIP Bandung) tidak tidak otomatis menjadikan seseorang guru layak mendapat sertifikasi. Bahkan sebagian besarnya tidak lulus karena fortofolionya kurang, sehingga harus mengikuti Diklat ( Pendidikan dan Latihan) terlebih dahulu.
Demikian sedikit dari dialog saya dengan kakak saya.

Juga ada obrolan saya dengan adik Ipar saya yang belerja pada Dinas Kesehatan. Dikantor mereka katanya rame rekan-rekannya membicarakan tentang guru. Guru katanya sekarang lagi dimanjakan oleh Pemerintah. Dan katanya tidak adil kalau hanya guru saja yang tunjangannya naik karena sama-sama pegawai negeri.

Nah, yang ingin saya bahas disini bukanlah masalah dialog itu, tetapi beberapa berita yang ditulis di koran Tribun Jabar Edisi Jum’at tanggal 20 Maret 2009 dan Tribun Jabar Hari Sabtu 21 Maret 2009.

Tribun Jabar Edisi Jum’at tanggal 20 Maret 2009 memuat tiga buah berita yang ada kaitannya dengan Guru.

Pada Halaman 12 terdapat tiga berita :
1. Pada bagian atas halaman 12 tersebut terdapat tulisan judul yang besar sama dengan tulisan Judul di halaman satu. Judulnya : “Guru Harus Bertanggung Jawab”, di bawahnya ada tulisan “Target UN Beda dengan Sekolah Gratis”.

Isi tulisan itu adalah pernyataan Bapak kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung Oji Mahroji pada waktu launching Sekolah Gratis di Balaikota Bandung, yang antara lain:
“ UN sama sekali tidak ada kaitannya dengan sekolah gratis. Guru bertugas untuk menyiapkan siswa agar lulus UN, sedang sekolah gratis berkaitan dengan operarisonal sekolah”

Lalu Oji Mahroji mengatakan:
“ Jangan biarkan kalau ada guru yang kinerjanya menurun” katanya. Oji menegaskan bahwa anggaran untuk sekolah pada saat ini berbasis kinerja. Maka Guru yang memiliki kinerja jauh lebih baik dibandingkan dengan guru yang lain berhak mendapat insentif.


2.Di bawah judul yang sama, ada dua kolom kecil dengan judul “ Sertifikat Bisa Dicabut”

Isi tulisannya adalah pendapat Praktisi Pendidikan sekaligus Wakil Rektor bidang Akademik dan Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Prof. A. Chaedar Alwasilah MA, PhD yang mengatakan bahwa sertifikat guru professional yang telah mengikuti uji sertifikasi bisa dicabut ketika para guru tidak menjalankan tugasnya secara propesional.
“dalam program sertifikasi ini belum ada ketentuan apakah berlaku seumur hidup atau tidak. Tapi menurut pendapat saya , bisa saja. Karena sudah mendapat sertifikat guru bekerja seenaknya. Sebagaimana pemberlakuan SIM ( Surat Izin Mengemudi ) tiap lima tahun sekali dievaluasi . Kalau guru bekerja dengan merugikan siswa , mesti sertifikatnya dapat dicabut” Jelas Chaedar di kantornya di Kampus UPI Rabu (18/3)

3. Masih ada Judul lagi di bawah judul besar tersebut: “ Dada : Sebaiknya Orang Kaya Bayar”

Isi tulisan ini adalah pernyataan Dada Rosada, wali kota Bandung, yang mengatakan, alangkah baiknya jika orang kaya masih tetap bayar biaya sekolah.”Rasanya kurang adil orang kaya atau anak wali kota menikmati sekolah gratis. Apa salahnya jika tetap membayar untuk menyumbangkan orang miskin”

Selanjutnya Dada menyatakan:” Sekolah gratis yang diselenggarakan Pemkot diperuntukkan khusus bagi siswa kurang mampu , makanya pada tahun 2009 jika tidak melanggar aturan orang kaya tidak perlu gratis”

Terakhir Dada mengatakan: “ Saya dan seluruh stakeholder kota Bandung sangat kecewa jika lokasi APBD kota Bandung untuk Pendidikan mencapai Rp. 1,062 triliun atau 53 % dari APBD tidak membukukan prestasi pendidikan yang gemilang”

4. Pada halaman 17 juga ada tulisan yang berkaitan dengan Guru. Judulnya juga cukup besar di bawah kolom Rakyat Memilih, “ Seorang Guru SMP Nyaris Diamuk Massa”

Isi beritanya : Salah seorang guru SMP di Pamarican ( Ciamis ), beriniial Kur (40 ), nyaris jadi korban amukan massa pendukung salah satu Partai peserta pemilu. Penyebabnya adalah karena Kurd merobek dan merusak baligo caleg yang dipasang di pertigaan Cibenda, Neglasari.
Diduga Kurd merobek dan merusak baligo tersebut ketika dia berangkat ke sekolah dengan lasan bahwa sebelumnya terjadi kecelakaan yang dialami oleh siswa SMP tempat Kurd mengajar. Sepeda motor yang ditumpangi oleh siswa SMP tersebut bertabrakan dengan sepeda motor lainnya dipertigaan Cibenda, Neglasari, akibat keberadaan kedua baligo itu menghalangi pandangan pengendara.

Pada Tribun Jabar edisi hari berikutnya Sabtu 21 Maret 2008, justru berita mengenai guru benar-benar menjadi headlinenya dengan Judul yang sangat besar “ Guru Tagih Tunjangan Profesi”

Isi beritanya sangat miris menceritakan perjuangan isteri seorang guru yang menanyakan tunjangan profesi suaminya yang menjabat Wakil Kepala SMAN 6 kota Cimahi yang bernama Abdullah Ahmad yang telah lulus ujian sertifikasi. Ternyata tunjangan sebesar Rp. 8,6 juta yang telah diterima teman-temannya Abdullah Ahmad seharusnya diterima juga oleh suaminya ditarik oleh Dinas Pendidikan Kota Cimahi dengan alasan yang bersangkutan sakit. Padahal Abdullah Ahmad sangat membutuhkan uang tersebut karena terserang stroke dan juga terkena penyakit jantung dan harus dipasangi balon di lima titik dengan biaya sekitar Rp. 250 juta.
Hati isteri seorang guru tersebut yang tadinya berbunga-bunga akhirnya berubah menjadi kekecewaan yang sangat mendalam.

Mari kita bahas isi tulisan di atas:

1. “Guru Harus Bertanggung Jawab”, karena “Target UN Beda dengan Sekolah Gratis”, “ UN sama sekali tidak ada kaitannya dengan sekolah gratis. Guru bertugas untuk menyiapkan siswa agar lulus UN, sedang sekolah gratis berkaitan dengan operarisonal sekolah” dan “ Jangan biarkan kalau ada guru yang kinerjanya menurun”

Ucapan Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung ini menandakan bahwa ada indikasi bahwa dengan digratiskannya sekolah ( SD dan SMP ) maka kinerja guru akan menurun sehingga dikhawatirkan target UN akan menurun dan guru diminta harus bertanggung jawab agar siswa lulus UN.

Semua guru jangankan guru PNS, guru yang honornya saja jauh di bawah UMR pasti mempunyai tanggung jawab. Karena salah satu kebahagian dan kebanggaan seorang guru adalah bila peserta didiknya bisa berhasil lulus semuanya . Makanya para guru disetiap sekolah berusaha mencapai tujuan tersebut dengan berbagai cara , caranya dengan membuat “team pemantapan”, “team program sukses UN” , “team sukses” , dan berbagai macam nama lainnya yang intinya bertujuan agar peserta didik disekolah tempat mereka mengajar bisa lulus UN mencapai 100%.

Kita bisa survey ke berbagai sekolah, menjelang UN pasti setiap sekolah menyelenggarakan kegiatan di atas.

Jadi tidak ada alasan kalau meragukan kinerja guru hanya karena sekolahnya gratis. Karena guru dari jaman dulunya sudah begitu mempunyai tanggung jawab yang tinggi terhadap profesinya, diberi penghargaan atau tanpa penghargaan. “Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa.” Terkesan bahwa guru itu menerima profesi mereka apa adanya tidak dilihat dari penghargaannya. Cuma sayang pencipta lagu ini adalah guru jadi kurang objektif.

2.“ Dada : Sebaiknya Orang Kaya Bayar”,

”Rasanya kurang adil orang kaya atau anak wali kota menikmati sekolah gratis. Apa salahnya jika tetap membayar untuk menyumbangkan orang miskin”
” Sekolah gratis yang diselenggarakan Pemkot diperuntukkan khusus bagi siswa kurang mampu , makanya pada tahun 2009 jika tidak melanggar aturan orang kaya tidak perlu gratis”
“ Saya dan seluruh stakeholder kota Bandung sangat kecewa jika alokasi APBD kota Bandung untuk Pendidikan mencapai Rp. 1,062 triliun atau 53 % dari APBD tidak membukukan prestasi pendidikan yang gemilang”

Adil menurut Islam adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya atau sesuai porsinya. Anak SD kalau minta dibelikan motor tidak boleh dipenuhi permintaaanya walaupun kita punya uang untuk membelinya karena anak SD belum memenuhi syarat untuk mengendarai motor.

Demikian pula adalah tidak adil kalau siswa yang orang tuanya mempunyai kekayaan melimpah, hidup berkecukupan, kesekolah memakai mobil mewah mendapat subsidi sama seperti orang orang-orang miskin atau orang kurang mampu. Orang yang demikian itu seharusnya bukan diberi subsidi tetapi seharusnya memberi subsidi kepada orang yang tidak mampu.

1.Seharusnya ada kriteria khusus siapa saja yang berhak mendapat subsidi sekolah gratis.
Dilihat dari penghasil orang tua siswa. Misalnya kebutuhan hidup perorangan minimum yang layak perbulan. Rp. 500.000,- . Bila kepala keluarga mempunyai penghasilan Rp. 2.000.000,- perbulan, dan mempunyai dua anak yang masih sekolah, maka berarti dua anak tersebut tidak perlu membayar SPP. Tapi jika penghasilan kepala keluarga melebihi Rp. 2.000.000,- maka barulah membayar SPP.

2.Bagi orang yang gajinya sudah memenuhi kriteria hidup layak, maka besar SPP anaknya diambil misalnya 10% dari gajinya. Misalnya seseorang mempunyai gaji Rp. 3.000.000,- dengan anak yang bersekolah 2 orang, maka prosentase SPP maksimal yang harus dibayar adalah Rp. 300.000,- dibagi dua. Jadi masing-masing anak harus membayar SPP Rp. 150.000,- perbulan.
Jadi makin tinggi gaji seseorang maka makin besarlah SPP yang harus dibayar. Misalnya seorang dengan gaji Rp. 15.000.000,- per bulan , maka prosentase SPP yang harus di bayar adalah Rp. 1.500.000,-. Jadi kalau dirata-ratakan dengan anak dua orang , masing-masing anak harus membayar SPP Rp. 750.000,- per bulan.

3.Adalah sangat tidak adil pula bila disuatu sekolah setiap siswa dengan tingkat ekonomi yang beragam membayar SPP dengan jumlah yang sama. Seharusnya SPP yang dibayarkan pun beragam sesuai dengan tingkat penghasilan yang diperoleh. Orang yang kaya mensubsidi orang yang tidak punya. Itulah yang disebut subsidi silang.

Untuk melaksanakannya perlu pengkajian lebih jauh. Setiap orang tua siswa diminta data tentang pekerjaan, kepemilikan rumah, jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan, jumlah kendaraan yang dimiliki, jumlah anak usia sekolah, perincian gaji dan penghasilan, surat keterangan dari RT dan Rw, dan lain-lain.

Terakhir tentunya perlu ada survey dari pihak sekolah atau pihak lain yang ditunjuk untuk mengecek kebenaran informasi yang diberikan oleh orang tua siswa.

4.“ Sertifikat Bisa Dicabut” dan “ Guru Tagih Tunjangan Profesi”

Pernyataan pertama adalah pernyataan dari seorang Praktisi Pendidikan sekaligus Wakil Rektor bidang Akademik dan Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Prof. A. Chaedar Alwasilah MA, PhD. Tentu terdengar aneh karena yang mengatakannya adalah seorang dosen UPI . Sebuah institusi pendidikan yang sangat banyak memproduksi tenaga guru yang teah tersebar diseluruh wilayah Indonesia.

Kenapa aneh? Karena yang bersangkutan adalah dosen UPI dan juga yang menguji layak atau tidak layaknya seorang guru lulus sertifikasi. Sebaiknya yang menguji layak atau tidak layaknya seorang guru lulus sertifikasi adalah Perguruan tinggi lain diluar UPI.Karena kalau orang UPI yang menguji sertifikasi adalah wujud ketidakpercayaan mereka dengan produknya sendiri, kecuali guru yang diujinya bukan lulusan dari UPI.

Disamping itu karena guru sekarang sudah menjadi profesi dengan adanya sertifikasi perlu di buat kode etik profesinya. Dengan adanya kode etik profesi maka guru yang sudah profesional dapat menjalankan tugasnya sesuai dengan rambu-rambu yang ada di dalam kode etik profesi tersebut. Dan bagi yang melanggarnya harus ada angsi-sangsin tegas sehingga guru akan berhati-hati.
Tentunya tidak satu orangpun yang berhak mengatakan sertifikat guru bisa dicabut sebelum ada aturan yang jelas mengenai hal itu.


Berita yang berjudul “Guru Tagih Tunjangan Profesi” yang menceritakan Istri seorang guru yang sedang sakit dan membutuhkan biaya yang sangat besar menelusuri tunjangan profesi suaminya yang sudah lulus sertifikasi. Dengan penuh harapan dan hati berbunga-bunga sang istri mencari tahu kenapa tunjangan profesi suaminya kok belum turun juga. Sementara teman-teman suaminya sudah turun.

Setelah ditelusuri ternyata tunjang profesi suaminya sudah ditarik oleh Dinas Pendidikan Kota Cimahi dengan alasan berdasarkan peraturan seorang guru yang sedang sakit tidak berhak mendapat tunjangan profesi. Dan uangnya sudah dikembalikan ke pusat. Ketika ditanya oleh istri Pak Ahmad mana bukti bahwa uang itu sudah dikembalikan ke pusat ternyata Dinas Pendidikan Kota Cimahi tidak dapat menunjukkannya. Ironis memang. Istri Pak Guru Ahmad pulang ke rumah dengan langkah gontai dan harapan hampa. Pupus sudah harapannya.

Seharusnya ada pengecualian. Peraturan itu buatan manusia. Para Pejabat terkait harusnya bujaksanan. Dilihat dulu alasannya kenapa yang bersangkutan tidak mengajar. Kalau yang bersangkutan tidak mengajar tanpa alasan maka yang bersangkutan memang tidak berhak menerima tunjangan tersebut. Peraturan seharusnya tidak kaku . Bisa didiskusikan dengan para ahli yang berwenang.

Dari tulisan diatas dapat kita simpulkan bahwa pejabat Dinas Pendidikan Kota Cimahi sangat arogan. Tanpa memberitahukan terlebih dahulu kepada yang bersangkutan uang tunjangan yang tadinya sudah cair di tarik kembali. Dimana sikap manusiawinya. Seorang guru yang sudah mengabdi menjadi guru selama 30 tahun yang sedang sakit dan sedang membutuhkan banyak biaya untuk pengobatan tidak dihargai sedikitpun oleh mereka.

Sadarkah mereka bahwa mereka bisa menjadi pejabat itu adalah karena jasa guru?. Tidak mungkin mereka menjadi pejabat kalau mereka tidak belajar di sekolah.
Sadarkah mereka bahwa anak-anak mereka juga bisa jadi pintar adalah karena jasa guru?

Terakhir, kenapa sekolah tempat Pak Ahmad mengajar tidak berbuat apa-apa?

Pak Ahmad dan Bu Ahmad , sabarlah apa yang menimpa Bapak dan Ibu adalah ujian dari Alloh.
Mudah-mudahan Alloh SWT memberikan kesabaran dan kekuatan dalam menrima musibah ini.

Kontroversi terakhir adalah berita di Harian Kompas Sabtu tanggal 28 Maret 2009, dimana Menteri Keuangan mengatakan akan mencabut tunjangan profesi Guru dan guru yang suah menerima tunjangan profesi harus mengambalikan uang yang sudah diterimanya karena Peraturan Perunang-unangan tentang guru dan Dosen belum ditanda tangani.
Berita ini membuat guru-guru resah apalagi guru-guru yang sudah menerima tunjangannya dan harus mengembalikan.
Untunglah paa Pikiran Rakyat Senin tanggal 30 Maret 2008 aa bantahan dari Hatta Rajasa bahwa Undang-undang tentang guru dan Dosen sedah ditanda tangani oleh Presiden dan Peraturan perundang-undangannya insya Alloh selesai pada bulan Juni 2009.
Guru.....memang profesi penuh kontroversi

2 komentar:

  1. I ya Pak, Guru memang profesi penuh "kontroversi", wujud manajemen pemerintah yang semrawut. Sy sendiri 2 bln tunjangan fungsional hangus, guru2 lain malah ada yg 5 bln, bgm Dinas Pend. menyikapi hal ini? Pelaksanaan sertifikasi jg tdk adil dan tdk beradab, krn berdasarkan kuota.
    Pak Is, hobi sy skrg baca BLOG, GOBLOG = Go to Blog (list dosen gan guru he...he..)

    BalasHapus
  2. saya seorang guru sdh lebih dr 13-thn mengabdi yang sebenarnya tdk setuju dgn adanya tunjangan dari Sertifikasi Guru. Hal tsb krn ternyata banyak kecurangan2 yg terjadi seperti banyaknya bukti2 palsu atau Aspal yang digunakan. Sebagai seorang guru tentunya hal itu bukan hal baru lagi dalam hal sertifikasi.

    Apakah tdk sebaiknya kesejahteraan guru dipukul rata saja dengan menaikkan gaji pokok atau tunjangan fungsionalnya secara merata spt biasanya namun dgn prosentase yg lebih tinggi?

    sy rasa Sertifikasi guru tdk lebih hanyalah Proyek dari Oknum2 ttt di Pemerintah/Politik/Kependidikan yang sebenarnya sangat banyak sekali kekurangannya dibanding kebaikannya bagi mayoritas semua guru

    Apalagi guru2 yang sudah senior sangat berat sekali untuk bisa memenuhi sertifikasi portofolio yang begitu banyak dan ruwet, karena masing2 guru memiliki ciri khas, gaya mengajar dan Trik2 tersendiri dalam mengajar kepada siswanya spy materi yang diberikan dpt diserap oleh siswa.

    yang mau saya tanyakan dan mungkin pengunjung bs memberikan pencerahan :
    - "Apakah mutu guru jaman dulu sudah betul2 jauh tertinggal dibanding dgn guru2 sekarang?"
    - apakah anak2 didik kita sekarang memang sdh lebih pintar2 dibanding jaman kita sekolah dulu (20 thn yg lalu)?

    sy seorang guru yg sangat menolak sertifikasi guru (sy orang yg sangat tdk suka dgn hal2 yg merepotkan spt portofolio2 yg sebenarnya itu semua tidaklah begitu penting) tp disekolah tempat sy mengabdi sy percaya kalau apa yg saya sampaikan dalam mengajar adalah apa yg terbaik yg harus sy berikan kepada siswa2 saya dan banyak guru2 yg sdh sertifikasi tp mutu kinerjanya dlm hal mengajar masih jauh dibawah saya (ma'af tdk sombong tp itu kenyataan)

    BalasHapus